JAKARTA, kabarbisnis.com: Industri Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) di Indonesia memiliki potensi besar. Sayangnya, sektor ini belum tergarap secara maksimal.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama Kusubandio pun bertekad untuk terus mendorong pengembangan industri MICE.

Hal itu disampaikan Wishnutama pada ramah tamah bertajuk “Ngopi Bareng Mas Tama dan Mbak Angela” di Jakarta, Selasa (5/11/2019).

Wisatawan MICE, menurut Whisnu, mereka datang tidak hanya berdua bahkan ribuan. “Kami sedang konsultasi dengan penyelenggara sejauh mana dan seberapa besar potensinya bagi Indonesia. Dan kami pun akan mengkaji apakah MICE ini perlu direktorat tersendiri,” papar Wishnutama.

Pada kesempatan terpisah, Dr. Christina L Rudatin, Kepala MICE Center Politeknik Negeri Jakarta, menyarankan akan lebih baik jika MICE digarap khusus di level yang setrategis dalam Kemenparekraf.

Pameran dagang internasional terbesar di Indonesia, Trade Expo Indonesia (TEI) 2019 yang digelar pada 16-20 Oktober 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Banten.

Pada level eselon satu sangat memungkinkan MICE digarap dari A-Z. “Kalau hanya di level eselon dua, misalnya di bawah pemasaran seperti dulu, nanti yang digarap hanya sebatas promosi,” ungkap Tina, yang juga menjabat sebagai Vice Chairperson bidang kelembagaan INACEB.

Perlu diketahui pula, bahwasanya dampak ekonomi dari MICE ini sangat besar. Tina mencontohkan dari penyelenggaraan IMF-World Bank Conference. Dengan anggaran sebesar Rp600 juta mampu menghasilkan direct Impact lebih dari Rp2 triliun dan Indirect Impact (dari komitmen investasi) sebesar lebih dari Rp200 triliun.

“Belum lagi intangible benefit yang diperoleh melalui Word of Mouth (WOM) dari para delegasi dan branding destinasi,” tambahnya.

Christina pun menegaskan, bahwa MICE berbeda dengan Special Event (Sport event, festival, carnival, konser dan sejenisnya). Kegiatan MICE adalah aktifitas business event. “Business event (MICE) mendatangkan business travelers, sementara special event mendatangkan leisure travelers,” urai Tina.

Sementara itu Hosea Andreas Runkat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (ASPERAPI) memiliki kekhawatiran jika MICE ditafsirkan atau memiliki kemiripan dengan ekonomi kreatif. Padahal ini hal yang berbeda.

Untuk itu, ia bersama beberapa pelaku industri terkait MICE sedang berupaya untuk bertemu dengan Menparekraf untuk berbagi pengetahuan tentang MICE.

“Beberapa Asosiasi MICE seperti ASPERAPI, Indonesia Congress and Convention Association (INCCA) dan lainnya lagi sedang berupaya bertemu dengan Menparekraf. Kami ingin membicarakan tentang MICE yang simple terlebih dahulu,” kata Andre.

Pengetahuan sederhana tentang MICE ini, bisa mendorong lahirnya kebijakan yang memungkinkan posisi MICE Indonesia seperti negara lain — yang telah lama menjadikan MICE salah satu pendapatan utama. Andre dan ASPERAPI akan memberi gambaran industri MICE dan pengaruhnya terhadap ekonomi dan devisa bagi negara.

“Kami itu ingin memberikan gambaran tentang MICE di Indonesia, untuk kemudian agar diakui atau diamini terlebih dahulu. Jika hal tersebut telah mendapat pengakuan baru dibuat direktorat dan program ke depannya,” jelasnya.

Christina L Rudatin dan Hosea Andreas Runkat, masih sangat optimistis bahwa Menparekraf yang baru, masih mau mendengarkan para pelaku industri. “Mas Wishnutama ini kan dari orang event, orangnya juga fleksibel, saya rasa masih mau mendengarkan dan masukan dari pelaku dan industri pariwisata,” jelas Andre.

Hal yang sama diakui oleh Tina. Ia sependapat Wishnutama yang berlatar belakang media dan berpengalaman menangani event akan lebih memahami kebutuhan pengembangan MICE, sehingga dalam struktur organisasi Kemenparekraf, MICE akan dapat ditempatkan pada posisi yang lebih strategis.

Source by : www.kabarbisnis.com